86NEWS.ID – JAKARTA – Polda Metro Jaya menghentikan kasus dugaan ujaran kebencian Aiman Witjaksono terkait netralitas Kepolisian dalam Pemilu 2024.
Penghentian penyidikan kasus ini berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana perihal penyebaran berita bohong atau hoaks.
“Otomatis sangkaan dan dakwaan akan gugur karena Pasal 14 dan 15 Nomor 1 Tahun 1946 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi kepada wartawan, Kamis, (28/3).
Ditegaskannya, penghentian kasus ini sama sekali tidak bernuansa politis menyusul Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 sudah rampung sehingga kasus dihentikan.
“Penyelidikan, penyidikan itu dasarnya aturan. Hak dan kewajiban siapapun yang berproses hukum akan dipatuhi penyidik,” ujar Kombes Pol Ade Ary.
Polda Metro Jaya secara resmi sudah mengumumkan penghentian penyidikan kasus dugaan ujaran kebencian oleh Juru Bicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud MD, Aiman Witjaksono.
“Tadi malam (Rabu, 27 Maret 2024), kami sudah dikirimkan surat dari penyidik dari Ditreskrimsus Polda Metro Jaya bahwa laporan yg berkaitan dengan saudara Aiman ini sudah dihentikan atau sudah dikeluarkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) dengan alasan demi hukum,” kata salah satu penasehat hukum Aiman Witjaksono, Finsensius Mendrofa.
Ditambahkannya, pihaknya sangat bersyukur atas keputusan Polda Metro Jaya dan mengapresiasi atas penghentian kasus tersebut.
“Kami bersyukur bahwa kasus Aiman dihentikan demi hukum. Memang sejak awal kami meyakini betul bahwa kasus Aiman ini bukan merupakan tindak pidana,” katanya.
Dirinya juga berkeyakinan bahwa apa yang dilakukan oleh penyidik Polda Metro Jaya itu layak diapresiasi karena sama-sama memiliki satu pemikiran terhadap kasus Aiman bahwa demi hukum harus dihentikan prosesnya.
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) RI mengabulkan sebagian gugatan uji materi yang diajukan Haris Azhar dan Fatiah Maulidiyanty serta menghapus Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana perihal penyebaran berita bohong atau hoaks.
“Dalam pokok permohonan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara RI II Nomor 9) bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” papar Ketua MK, Suhartoyo membacakan amar putusan saat sidang pleno yang dipantau secara daring dari Jakarta, Kamis, (21/3) lalu.
Dikatakannya juga, MK berpendapat, unsur “berita atau pemberitahuan bohong” dan “kabar yang tidak pasti, atau kabar yang berkelebihan” pada Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 mengandung sifat ambiguitas.
Menurut MK, terus Suhartoyo, sulit menentukan ukuran atau parameter kebenaran suatu hal yang disampaikan oleh masyarakat. Ukuran atau parameter yang tidak jelas dalam mengeluarkan pendapat atau pemikiran, justru dapat membatasi hak setiap orang untuk berpikir.
Selain itu, hal ini juga dinilai mahkamah dapat mengancam kebebasan masyarakat untuk berpendapat.
“Karena itu, negara tidak boleh mengurangi kebebasan berpendapat dengan ketentuan atau syarat yang bersifat absolut bahwa yang disampaikan tersebut adalah sesuatu yang benar atau tidak bohong,” tambah Hakim Konstitusi, Arsul Sani membacakan pertimbangan. (Djn).